Matahari belum juga menampakkan sinarnya yang cerah. Angin
masih setia berhembus, dengan hawa dingin menusuk tulang. Langit sudah beberapa
hari belakangan ini berwarna kelabu dengan kapas-kapas awan yang seolah enggan
menghiasi sang langit. Jajaran petak-petak rumah hampir tak bisa di bedakan
warna catnya. Semua sama rata berwarna putih, tertutup tebalnya salju. Jalanan
setapak juga berwarna senada dengan jajaran rumah-rumah itu. Hanya sebagian
jalan yang menampakkan warna coklatnya.
Dibawah naungan langit kelabu, deretan pohon-pohon besar
berjajar di sepanjang jalan yang tak terlalu besar itu. Pohon-pohon beranting
rimbun itu seolah hampa tanpa adanya dedaunan hijau menghiasinya. Beruntung
sebuah pohon masih dihiasi beberapa lembar daun, sayangnya bukan berwarna
hijau, melainkan berwarna kuning emas dengan beberapa bercak coklat di sudut
kanan dan kirinya. Seorang gadis baru saja melewati pohon beruntung itu.
Warna kulit gadis itu hampir tak dapat di kenali karena
seluruh tubuhnya tertutup rapat pakaian yang di kenakannya. Mantel hitam tebal
selutut, celana jins putih dan sepatu boots hitam, lengkap dengan syal dan
sarung tangannya, membuat gadis itu terlihat lebih besar dari ukuran
sebenarnya. Ia berjalan dengan kepala tertunduk melawan angin dingin yang
berhembus. Sebelah tangannya di keluarkan dari saku mantel untuk membenarkan
letak syalnya yang kini menutupi sempurna separuh wajahnya.
Langkah gadis itu terburu, menimbulkan bunyi ketukan dari
sepatu bootsnya. Seperempat bagian bawah sepatu itu sudah basah, meski basahnya
hanya setitik-titik air bagai embun diatas daun di pagi hari. Dengan lirikan
mata, gadis itu melihat sebuah lampu lalu lintas beberapa meter di depannya.
Lampu yang bergambarkan orang sedang melangkah itu mendadak berganti warna
menjadi hijau. Gadis itu mempercepat langkahnya, membuat beberapa salju yang
sudah mencair terseok oleh langkah kakinya. Dengan hitungan detik, ia sudah
menyebrangi jalan yang tak terlalu besar tadi. Iapun segera menyebrangi dua rel
di hadapannya tanpa mau menoleh ke kanan atau ke kiri. Terlalu menusuk kulit
tiap kali ia menolehkan kepala lantaran angin pagi yang masih saya berhembus
kencang.
Barulah ia bisa menghembuskan napas panjang setelah sampai
di sebuah halte di depan persis dua
rel yang baru saja ia sebrangi. Seorang Ibu-ibu berumur 40an, wanita paruh
baya, dan seorang pemuda sudah berdiri di halte itu. Sang gadis diam
memperhatikan jalan di depannya, yang memang baru saja ia lewati. Mendadak
angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya, membuat ia menaikkan kedua
bahunya menahan dingin. Sang ibu berumur 40an, menyulut rokoknya tepat saat
seorang pria gemuk datang dengan mantel hitam panjang sampai betis.
Gadis itu melemparkan senyum tipis, meski ia tau sang pria
tak bisa melihat senyumnya dibalik syal merah tebal yang ia kenakan. Kembali
gadis itu menghembuskan napas pajang dan memberanikan diri mendongak keatas.
SWING....hembusan angin menerpa pipinya yang mendadak membuat bulu kuduknya
berdiri.
Setiap hari
begini. Bertemu dengan orang-orang yang sama di tempat yang sama dan dalam
waktu yang sama pula. Dan anehnya, ekspresi dan suasana di antara kita juga
selalu sama. Diam, membisu, tanpa sapaan, sibuk dengan pikiran masing-masing,
dan selalu dingin. Gadis itu membatin perih. Ditatapnya kembali orang-orang di
sekitarnya.
Inikah
yang lebih baik? Inikah yang selama ini kamu cari, Sab? Kembali
batinnya berbicara dengan pertanyaan retoris. Ia menghembuskan napas berat
menjawab pertanyaannya. Seraya dengan itu, sebuah trem datang mendekat dan
berhenti tepat di hadapannya. Ia sempat melihat bayangannya sendiri sebelum
pintu trem terbuka. Ia tersenyum tipis dan sebuah ingatan berputar di
pikirannya.
“Sab,
pasti nanti pas Winter, elo kayak beruang deh. Pake mantel tebel sama syal
melilit ampe muka haha...lucu deh!”
Sang
remaja wanita menoyor lengan sang remaja laki-laki dengan wajah di tekuk. “Enak
aja lo. Sembarangan!”
Angin serasa berhenti berhembus. Ia sadar dengan
sesadar-sadarnya bahwa ia kembali mendengar suara itu. Suara yang sudah lama ia
rindukan. Tapi bagaimana bisa? Suara itu....
“Entschuldigung, kann
ich mal da durch?” sebuah suara nyata mengagetkan gadis itu dan memaksanya
melepaskan diri dari potongan ingatan dalam pikirannya.
“Ahja, natürlich!” gadis
itu menyingkir dari depan pintu trem dan membiarkan para penumpang turun
terlebih dahulu barulah ia naik. Di dalam trem yang hangat (karena ada
penghangatnya), pikirannya kembali melayang ke beberapa bulan lalu. Saat
dirinya baru menjejakan kaki di Bandara Frankfurt.
Hari itu sudah berbulan-bulan lamanya. Gadis itu menebar
pandang keluar jendela. Rumah-rumah tua dengan tembok berwarna pucat, dan
beberapa bagian depan rumah tersebut masih tertutup salju tipis. Jalan utama,
dimana lalu lalang kendaraan berlangsung, sudah bersih dari tebalnya salju. Ini
Winter pertamanya di Eropa. Dan untuk pertama kalinya juga ia banyak melihat
perubahan di Eropa. Bukan hanya sang musim yang berubah, melainkan raut wajah
penduduk juga ikut berubah. Bilamana Sommer,
wajah akan bersinar sebagaimana mentari bersinar cerah. Kali ini, sinar wajah
itu meredup bergantinkan dengan lengkungan bibir ke bawah, tatapan tajam dan
wajah mengeras. Memang tak bisa di pungkiri, matahari memang sumber kehidupan.
Matahari tak ada, kebahagiaanpun tak ada. Masih teringat di benaknya, bagaimana
ia tertawa lepas di bawah teriknya mentari bersama teman-temannya. Mereka semua
bersepeda ria, berlarian dengan bebas, bermain bola tangkap di lapangan dekat
Rathaus. Berselancar dan berenang pada saat akhir minggu. Sungguh menyenangkan.
Gadis itu kembali menyunggingkan senyumnya saat ia teringat derai tawa
teman-temannya di saat Sommer.
Tak berlangsung lama, ia sudah berada di stasiun tujuannya.
Dengan langkah panjang-panjang, ia turun dari trem dan segera menuju jalur
kereta selanjutnya yang akan membawanya ke Universitas.
Perlu sedikit cerita, seorang gadis yang sedari tadi menaiki
trem (dan sekarang sedang naik kereta bawah tanah) bernama Sabrina. Gadis biasa
berumur 18 tahun dengan rambut hitam panjang, berkulit gelap, dan bertubuh
jangkung itu sudah sejak lama menyukai Jerman. Masih teringat jelas, saat
pertama kalinya seorang sahabat mengirimkan sebuah kartu pos Rathaus
Bochum-Germany, ia langsung jatuh cinta pada Jerman. Bangunan tua memanjang
kesamping dengan beberapa tembok sudah lapuk itu, mampu membuatnya terpesona.
Terlebih saat ia melihat (secara langsung, begitu ia sudah di Jerman) ada
sebuah lonceng raksasa di depan bangunan itu, makin bertambah jatuh cinta ia.
Mulai sejak menerima kartu pos itulah, ia memutuskan untuk terbang ke Jerman
bagaimanapun caranya. Tekat bulat inilah, yang berhasil membawa dirinya ke
Jerman dengan status sebagai Aupair.
Banyak yang bertanya-tanya, apa itu Aupair. Kata asing itu
masih ada kaitannya dengan Home Stay. Dimana seseorang tinggal di negara asing
dalam jangka waktu tertentu untuk mempelajari bahasa dan budayanya. Dan itulah
yang sama di lakukan Sabrina. Ia berada di tengah-tenagh keluarga Jerman yang
senangnya adalah sahabat karib dari tantenya (yang juga tinggal di Jerman)
untuk mempelajari bahasa dan budaya Jerman. Di keluarga Nunberk inilah, ia
mempunyai satu adik perempuan dan satu kakak laki-laki. Selain belajar, seorang
Aupair juga di tugaskan untuk babysiting. Tidak susah bagi Sabrina untuk
menjaga adik perempuannya. Bagaimana tidak, adiknya sudah berumur 14 tahun.
Mereka banyak menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Seperti bernyanyi,
bermain gitar, bermain monopoli, menggambar, menulis cerita, dan banyak lagi.
Sedang kakak laki-lakinya sudah berumur 23 tahun. Di Jerman, anak diatas 19
tahun sudah harus keluar rumah untuk belajar hidup sendiri. Begitu juga kakak
laki-lakinya. Sabrina belum pernah sekalipun bertemu dengan kakak laki-lakinya
itu.
Sabrina sudah menghabiskan satu semester sekolah bahasanya.
Kini saatnya ia mengambil ijazahnya yang akan di gunakan untuk melanjutkan ke
tingkat yang lebih tinggi. Di Universitas, tempat dimana ia mengunjungi sekolah
bahasanya, teman-teman satu kelasnya sudah berkumpul di depan kantor
sekertariat. Sabrina menyapa hangat mereka. Riso, seorang laki-laki berumur 24
tahun dari Prancis membelai lembut rambut Sabrina.
“Hei, apa kabar mungil?”
sebutan itulah yang selalu di luncurkan Riso padanya. Memang, ukuran Sabrina
terlalu mungil untuk kalangan orang
Eropa.
“Baik. Bagaimana Zeugnisnya?
Semuanya lulus?” tanya Sabrina. Seorang laki-laki seumuran dengan Sabrina yang
berasal dari Algeria, menjawab “Karen belum datang!”
Karen adalah nama gurunya. Mereka mempunyai dua guru. Karen
dan Delia. Hari ini, tugas membagikan ijazah, jatuh pada Karen. Dalam hitungan
detik, Sabrina sudah bercanda hangat bersama teman-temannya. Suara gelak tawa
membahana di sepanjang koridor sekertariat membuat beberapa orang yang lewat,
melirik ingin tau. Diantara delapan orang yang sedang bercanda tawa disana itu,
hanya ada tiga perempuan. Tentunya Sabrina, dan yang lainnya gadis 20 tahun
dari Polan dan seorang perempuan dari Cina yang sudah berkeluarga dan mempunya
dua anak. Meski sudah mempunya dua anak, perempuan ini masih terlihat seperti berumur
19 tahun. Sabrina yang sudah berumur 18 tahun saja, masih sering dikira anak
berumur 15 tahun. Apa mungkin semua wajah Asia selalu terlihat lebih muda ya?
Entahlah! Ketujuh orang yang sedang bersamanya inilah, teman-teman dekat
Sabrina selama di Jerman. Teman-teman sekelas lainnya, lebih suka duduk
bergerombol dengan sesama orang dari negara mereka masing-masing. Terkadang
membuat jenuh Sabrina karena mereka kebanyakan berbicara dalam bahasa mereka
sendiri ketimbang dalam bahasa Jerman maupun Inggris.
“Hey, itu Karen!!!” seru sebuah suara. Sontak mereka semua
langusng berlarian mendekati Karen. Sabrina sama tak sabarnya dengan yang lain
untuk segera mengetahui nilainya. Ia meneliti kertas-kertas ujiannya kemarin.
Ada banyak coretan dengan tinta merah di atasnya. Ia mencelos pelan. Dalam
tugas 9, ia hanya mendapatkan nilai 4,5 dari nilai sesungguhnya yang 12. payah
banget! Tapi tugas 10, ia memenuhi semua nilai. Mata Sabrina terus meneliti di
bagian mana ia banyak kesalahan. Ia mencoba menganalisis mengapa bisa salah.
“Sabrina, mana punya kamu? Dapat nilai berapa?” tanya Mehdi,
cowok yang waktu itu Sabrina beri contekan banyak. Dalam hitungan menit, semua
teman-teman Sabrina berdiri mengerubungi Sabrina. Apalagi kalau bukan untuk
saling mencocokan nilai satu sama lain. Sabrina tersenyum cerah. Ternyata
nilainya bukanlah yang terjelek. Ia beruntung sekali. Karena nilainya berada di
atas teman-temannya. Ia merasa bangga. Ia bisa mengalahkan sebagian orang Eropa
di kelasnya. Sampai akhirnya, senyum cerahnya lenyap ketika melihat kertas
ujian milik Ning Huang, cowok China berkacamata yang super duper baik.
“WAS??? 117 punkte??” seru
Sabrina membahana membuat teman-teman sekelasnya pada datang mendekat. Ning
hanya terkekeh sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Tidak adil! Kenapa kamu bisa dapat nilai bagus? Kok kamu
tidak memberiku sontekan?? aku hanya mendapatkan 112 Punkte,” seru Sabrina
merebut paksa kertas Ning dan membanding-bandingkannya dengan miliknya. Ia
melirik bolak balik kertas Ning dan kertasnya berharap ada keajaiban nilai itu
akan bertukar. Tapi tetep aja, nilai itu tak bertukar. Sabrina kesal.
“Ya sudah. Ini buat kamu saja, ini punyaku!” kata Sabrina
menyerahkan kertasnya yang bernilai lebih sedikit kepada Ning dan mendekap erat
kertas Ning yang nilainya ternyata menjadi nilai tertinggi di kelas.
“Hehehe...oke, itu hadiah buat kamu deh,” katanya dengan
cengiran kuda.
“Sudahlah Sabrina, toh
kamu menjadi peringkat dua. Cukuplah! Kalian ini orang-orang Asia dengan
otak cemerlang. Lihat saja, posisi satu dua dan tiga, di duduki oleh
orang-orang Asia semua,” hibsur Riso merangkul Sabrina. Di liriknya kertas
Riso. Okelah, Riso hanya mendapatkan 93. Sabrina sudah sepatutnya bersyukur.
“Yuk, kita mendaftar untuk Winter Semester. Biar tidak kehabisan tempat dan kita bisa tetap
sekelas,” ajak Marta, si cewek kalem. Merekapun setuju dan berbondong-bondong ngantri
di depan kantor pendaftaran. Kehadiran mereka bukan hanya menuh-menuhin koridor
depan kantor pendaftaran aja tapi juga menyedot perhatian banyak orang karena
saking berisiknya mereka. Becandaan, jitak-jitakan, ampe teriak-teriak.
Diantara mereka, Marta selalu mengingatkan untuk tetap menjaga sikap karena
nanti mereka bisa di usir keluar dari gedung lantaran membuat keributan. Begitu
diingatkan, mereka semua terdiam menjaga sikap namun detik berikutnya sudah
kembali liar bercanda tawa. Marta akan langsung turun tangan memarahi,
merekapun diam lagi. Masih dalam hitungan detik, kembali lagi mereka liar.
Begitu seterusnya. Sampai akhirnya pendaftaran kedelapan orang itu selesai.
Diantara banyak orang yang berdesak-desakan di dalam
koridor, dan banyak orang pada menciptakan lelucon, Sabrina menarik Riso yang
tengah asik pukul-pukulan pakai buku di gulung bersama Borisch.
“Riso, nanti ke kota yuk! Aku mau beli payung nih, yang lama
sudah rusak,”
Riso menanggapinya dengan cengengesan, sambil mengelak dari
serangan Borisch.
“Wah, bakal gila nih sekelas sama mereka,” komentar sebuah
suara dari mulut perempuan yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku delapan
orang gila itu.
Read more...