Sunday, October 24, 2010

Lain Ladang, Lain Belalang

pepatah itu sudah tidak asing lagi kita dengar. semenjak kita semua masih duduk di SD; mungkin kita sudah sering mendengar pepatah itu. semenjak SD pula, kita sudah sering menuliskan arti dari pepatah itu. Namun, semua itu hanya sekedar hitam diatas putih.,Terkadang, kita sendiri tidak menyadati kalau sehari-hari kita berada dalam kondisi pepatah demikian.
sedikit cerita saya, yang sedikit banyak merupakan perwujudan konkret dari pepatah diatas.

Saya di lahirkan di tengah2 keluarga sederhana dan harmonis, yang dimana berdomisili di Jakarta. sejak kecil, kosakata Jakartalah yang sering saya dengar. tidak menutup kemungkinan, budaya2 dan tata cara hidup Jakarta juga berada di sekeliling saya.
Sampai akhirnya, saya pindah ke Solo. mungkin karena budaya Jakarta sudah melekat pada diri saya, pada saat di Solo...saya mengalami sedikit culture schok. dimana dua buah budaya bertemu dan seorang individu berusaha untuk mengadaptasikan dirinya di tengah2 budaya tersebut.
bila di Jakarta, saya lapar dan ingin makan, ya saya tinggal lari ke dapur dan makan sesuka hati. tidak peduli ada orang lain(bahkan orang lebih tua) sedang duduk di hadapan saya. tapi disini tidak. saya di tuntut harus mengucapkan "Makan, Om! atau makan Mbah! atau...mari Makan!"
saya juga tidak bisa seenaknya berucap..."aduh sialan! kemaren gue lupa nonton itu acara! ah,ketinggalan satu episod deh gue!" karena ucapan itu terdengar aneh di telinga masyarakat solo.
saat saya berkunjung ke rumah tante saya, lallu tante saya menyuguhi es teh. dengan santai saya berucap "emm...kok nggak manis sih tehnya" lalu dengan tegas ibu saya menyodok tulang rusuk saya, "Hush..nggak boleh ngomong gitu. nggak sopan"
ada juga saat tante menyuguhkan banyak makanan dan mempersilahkan untuk dimakan. saya berkata "ga ah, ma! aku nggak suka makanan itu"
dan lagi2 ibu saya menyodok tulang rusuk saya. "Shally, nggak boleh bilang begitu"
hey...sejak kecil saya terbiasa mengucapkan apa yang saya rasakan. di Jakarta, tempat saya dahulu...itu wajar. justru kami di tuntut mengucapkan apa yang kami rasakan, biar tidak ada kesalah pahaman. tapi tidak di masyarakat solo. mreka masyarata yang cenderung mengagungkan kesopan santunan dan tata krama. mungkin itu pengaruh dari budaya kraton. Jadi sebisa mungkin saya harus sesopan mungkin terhadap orang lain.

Lain lagi halnya begitu saya pindah ke Jerman. Bilamana dahulu saya hanya menemui budaya Solo dengan budaya Jakarta. sekarang ini saatnya saya mengadaptasikan diri yang tadinya berbudaya Timur, menjadi berbudaya Eropa. cultur Schok? tidak dua kali bertanya, jelas itu terjadi. bahkan semenjak saya menginjakkan kaki di Bandara Frankfurt.
tidak ada senyum sambutan ramah tamah dari pegawai Bandara, seperti yang sering saya temui di bandara2 Indonesia. semua disini, mengurus diri sendiri. tidak ada yang peduli dengan kehadiran orang lain.
sewaktu saya menunggu koper saya di roda berjalan, semua orang sibuk dengan diri sendiri. dan sewaktu koper saya datang, dengan susah payah saya mengangkat koper yang bila diukur bisa mencapai segede kulkas. untuk ukuran gadis remaja seperti saya, jelas itu terlalu berat. dan karena budaya timur masih melekat pda diri saya, otomatis saya berseru...Hey, Hilfe! tolong! Help! somebody help me...
dan tau apa yang terjadi?? seluruh orang di dekat roda berjalan itu memperhatikan saya. MEMPERHATIKAN. tak ada yang bertindak sedikitpun sesuai permintaan saya tersebut. jangankan bertindak, bergerakpun tidak ada. hanya diam mematung, memperhatikan saya seolah saya ini makhluk dari planet sebelah.
oke, mungkin saya memang terlihat aneh barangkali. karena teriak2 sesuka hati di bandara.


Saya sempat tinggal di solo selama 7 tahun, maka dari itu banyak budaya solo yang sudah mendarah daging di diri saya. seperti halnya...kejadian diatas. saya tidak bisa seenaknya berkata sesuatu yang tidak saya sukai atau mungkin mengucap sesuatu keinginan saya...contohnya...saya sedang berkunjung kerumah orang dan saya haus berat. tidak bisa saya berucap "Aduh haus nih. minta minum dong!" mungkin saya sudah di pukuli orang satu RT karena dianggap tidak sopan. kita sebagai tamu, di tuntut harus sopan dan mengikuti sang tuan rumah. kalau di suguhi ya syukur, kalau tidak ya berarti bukan rejeki.
nah, maka dari itulah...begitu saya berkunjung kerumah teman saya di Jerman(beliau orang Jerman), saya masih menerapkan budaya timur. malam itu, tmen saya dan kluarga sedang bersiap mkan mlam. karena saya sudah menginap di rumah teman dari kemarin malam, otomatis makan dan tidur, beliau sediakan untuk saya. sayapun bergabung dalam acara makan mlm kluarga itu. lalu datanglah seorang kerabat dari teman saya.
hal yang membuat saya heran adalah...kerabat tersebut hanya berdiri di pintu ruang mkan sementar kami semua sdang menyantap nikmat mkan mlm.
dan yang semakin anehnya lagi adalah...teman saya dan kerabatnya itu berbincang seru. ha? bagaimna bisa? teman saya duduk dan makan enak,sedangkan kerabatnya berdiri di pintu dan masih bisa bercanda tertawa dengan teman saya yang sedang mkan itu.
karena penasaran, sayapun bertanya,..loh, kerabat anda tidak diajak mkan? kok dia tidak duduk bersama kita?
dan dengan santainya teman saya menjawb...dia datang mendadak, dan tidak bilang untuk bergabung makan malam bersama kita. ya jadi dia tidak dapat mkan malam.
Ow...ow...ow...
hal ini membuat saya berfikir. di negara saya, bila ada tamu datang...mreka akan senang hati mempersilahkan sang tamu untuk ikut bergabung mkan meski sang tuang rumah tau sekali kalau mkanannya tidak akan cukup dan tidak ada porsi tambahan untuk sang tamu. jadi, demi kesopan santunan...sang tuang rumah rela memberikan jatah mkannya untuk sang tamu.pdahal bisa jadi setelah mkan mlam itu, sang tuan rumah tidak ada lagi persediaan mkanan. dia bisa jadi kelaparan dan lain sebagainya.
sedang di eropa...tanpa janji terlebih dahulu, ya tak akan terlaksana sebuah acara. tidak peduli orang yang datang itu teman dekat atau kluarga skalipun. kalau dari awal tidak ada janji mkan malam, ya berarti tak ada mkan mlam.
hupf...
ini bukan berarti saya membandingkan dua budaya yang berbeda.sperti diawal tadi, saya hanya mewujudkan daripada pepatah Lain Ladang, Lain Belalang.
ini juga bisa menjadi bhan renungan kita..dimana, karena kita sudah tau akan adanya pepatah itu...maka lebih baik bilamana kita pintar2 membaya diri agar nantinya tidak ada kesalahpahaman atau kontra budaya.

Read more...

Followers

About This Blog

  © Free Blogger Templates Blogger Theme II by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP