Sunday, June 23, 2013

ONE



Matahari belum juga menampakkan sinarnya yang cerah. Angin masih setia berhembus, dengan hawa dingin menusuk tulang. Langit sudah beberapa hari belakangan ini berwarna kelabu dengan kapas-kapas awan yang seolah enggan menghiasi sang langit. Jajaran petak-petak rumah hampir tak bisa di bedakan warna catnya. Semua sama rata berwarna putih, tertutup tebalnya salju. Jalanan setapak juga berwarna senada dengan jajaran rumah-rumah itu. Hanya sebagian jalan yang menampakkan warna coklatnya.
Dibawah naungan langit kelabu, deretan pohon-pohon besar berjajar di sepanjang jalan yang tak terlalu besar itu. Pohon-pohon beranting rimbun itu seolah hampa tanpa adanya dedaunan hijau menghiasinya. Beruntung sebuah pohon masih dihiasi beberapa lembar daun, sayangnya bukan berwarna hijau, melainkan berwarna kuning emas dengan beberapa bercak coklat di sudut kanan dan kirinya. Seorang gadis baru saja melewati pohon beruntung itu.
Warna kulit gadis itu hampir tak dapat di kenali karena seluruh tubuhnya tertutup rapat pakaian yang di kenakannya. Mantel hitam tebal selutut, celana jins putih dan sepatu boots hitam, lengkap dengan syal dan sarung tangannya, membuat gadis itu terlihat lebih besar dari ukuran sebenarnya. Ia berjalan dengan kepala tertunduk melawan angin dingin yang berhembus. Sebelah tangannya di keluarkan dari saku mantel untuk membenarkan letak syalnya yang kini menutupi sempurna separuh wajahnya.
Langkah gadis itu terburu, menimbulkan bunyi ketukan dari sepatu bootsnya. Seperempat bagian bawah sepatu itu sudah basah, meski basahnya hanya setitik-titik air bagai embun diatas daun di pagi hari. Dengan lirikan mata, gadis itu melihat sebuah lampu lalu lintas beberapa meter di depannya. Lampu yang bergambarkan orang sedang melangkah itu mendadak berganti warna menjadi hijau. Gadis itu mempercepat langkahnya, membuat beberapa salju yang sudah mencair terseok oleh langkah kakinya. Dengan hitungan detik, ia sudah menyebrangi jalan yang tak terlalu besar tadi. Iapun segera menyebrangi dua rel di hadapannya tanpa mau menoleh ke kanan atau ke kiri. Terlalu menusuk kulit tiap kali ia menolehkan kepala lantaran angin pagi yang masih saya berhembus kencang.
Barulah ia bisa menghembuskan napas panjang setelah sampai di sebuah halte di depan persis dua rel yang baru saja ia sebrangi. Seorang Ibu-ibu berumur 40an, wanita paruh baya, dan seorang pemuda sudah berdiri di halte itu. Sang gadis diam memperhatikan jalan di depannya, yang memang baru saja ia lewati. Mendadak angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya, membuat ia menaikkan kedua bahunya menahan dingin. Sang ibu berumur 40an, menyulut rokoknya tepat saat seorang pria gemuk datang dengan mantel hitam panjang sampai betis.
Gadis itu melemparkan senyum tipis, meski ia tau sang pria tak bisa melihat senyumnya dibalik syal merah tebal yang ia kenakan. Kembali gadis itu menghembuskan napas pajang dan memberanikan diri mendongak keatas. SWING....hembusan angin menerpa pipinya yang mendadak membuat bulu kuduknya berdiri.
Setiap hari begini. Bertemu dengan orang-orang yang sama di tempat yang sama dan dalam waktu yang sama pula. Dan anehnya, ekspresi dan suasana di antara kita juga selalu sama. Diam, membisu, tanpa sapaan, sibuk dengan pikiran masing-masing, dan selalu dingin. Gadis itu membatin perih. Ditatapnya kembali orang-orang di sekitarnya.
Inikah yang lebih baik? Inikah yang selama ini kamu cari, Sab? Kembali batinnya berbicara dengan pertanyaan retoris. Ia menghembuskan napas berat menjawab pertanyaannya. Seraya dengan itu, sebuah trem datang mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Ia sempat melihat bayangannya sendiri sebelum pintu trem terbuka. Ia tersenyum tipis dan sebuah ingatan berputar di pikirannya.
“Sab, pasti nanti pas Winter, elo kayak beruang deh. Pake mantel tebel sama syal melilit ampe muka haha...lucu deh!”
Sang remaja wanita menoyor lengan sang remaja laki-laki dengan wajah di tekuk. “Enak aja lo. Sembarangan!”
Angin serasa berhenti berhembus. Ia sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa ia kembali mendengar suara itu. Suara yang sudah lama ia rindukan. Tapi bagaimana bisa? Suara itu....
Entschuldigung, kann ich mal da durch?” sebuah suara nyata mengagetkan gadis itu dan memaksanya melepaskan diri dari potongan ingatan dalam pikirannya.
Ahja, natürlich!” gadis itu menyingkir dari depan pintu trem dan membiarkan para penumpang turun terlebih dahulu barulah ia naik. Di dalam trem yang hangat (karena ada penghangatnya), pikirannya kembali melayang ke beberapa bulan lalu. Saat dirinya baru menjejakan kaki di Bandara Frankfurt.
Hari itu sudah berbulan-bulan lamanya. Gadis itu menebar pandang keluar jendela. Rumah-rumah tua dengan tembok berwarna pucat, dan beberapa bagian depan rumah tersebut masih tertutup salju tipis. Jalan utama, dimana lalu lalang kendaraan berlangsung, sudah bersih dari tebalnya salju. Ini Winter pertamanya di Eropa. Dan untuk pertama kalinya juga ia banyak melihat perubahan di Eropa. Bukan hanya sang musim yang berubah, melainkan raut wajah penduduk juga ikut berubah. Bilamana Sommer, wajah akan bersinar sebagaimana mentari bersinar cerah. Kali ini, sinar wajah itu meredup bergantinkan dengan lengkungan bibir ke bawah, tatapan tajam dan wajah mengeras. Memang tak bisa di pungkiri, matahari memang sumber kehidupan. Matahari tak ada, kebahagiaanpun tak ada. Masih teringat di benaknya, bagaimana ia tertawa lepas di bawah teriknya mentari bersama teman-temannya. Mereka semua bersepeda ria, berlarian dengan bebas, bermain bola tangkap di lapangan dekat Rathaus. Berselancar dan berenang pada saat akhir minggu. Sungguh menyenangkan. Gadis itu kembali menyunggingkan senyumnya saat ia teringat derai tawa teman-temannya di saat Sommer.
Tak berlangsung lama, ia sudah berada di stasiun tujuannya. Dengan langkah panjang-panjang, ia turun dari trem dan segera menuju jalur kereta selanjutnya yang akan membawanya ke Universitas.
Perlu sedikit cerita, seorang gadis yang sedari tadi menaiki trem (dan sekarang sedang naik kereta bawah tanah) bernama Sabrina. Gadis biasa berumur 18 tahun dengan rambut hitam panjang, berkulit gelap, dan bertubuh jangkung itu sudah sejak lama menyukai Jerman. Masih teringat jelas, saat pertama kalinya seorang sahabat mengirimkan sebuah kartu pos Rathaus Bochum-Germany, ia langsung jatuh cinta pada Jerman. Bangunan tua memanjang kesamping dengan beberapa tembok sudah lapuk itu, mampu membuatnya terpesona. Terlebih saat ia melihat (secara langsung, begitu ia sudah di Jerman) ada sebuah lonceng raksasa di depan bangunan itu, makin bertambah jatuh cinta ia. Mulai sejak menerima kartu pos itulah, ia memutuskan untuk terbang ke Jerman bagaimanapun caranya. Tekat bulat inilah, yang berhasil membawa dirinya ke Jerman dengan status sebagai Aupair.
Banyak yang bertanya-tanya, apa itu Aupair. Kata asing itu masih ada kaitannya dengan Home Stay. Dimana seseorang tinggal di negara asing dalam jangka waktu tertentu untuk mempelajari bahasa dan budayanya. Dan itulah yang sama di lakukan Sabrina. Ia berada di tengah-tenagh keluarga Jerman yang senangnya adalah sahabat karib dari tantenya (yang juga tinggal di Jerman) untuk mempelajari bahasa dan budaya Jerman. Di keluarga Nunberk inilah, ia mempunyai satu adik perempuan dan satu kakak laki-laki. Selain belajar, seorang Aupair juga di tugaskan untuk babysiting. Tidak susah bagi Sabrina untuk menjaga adik perempuannya. Bagaimana tidak, adiknya sudah berumur 14 tahun. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Seperti bernyanyi, bermain gitar, bermain monopoli, menggambar, menulis cerita, dan banyak lagi. Sedang kakak laki-lakinya sudah berumur 23 tahun. Di Jerman, anak diatas 19 tahun sudah harus keluar rumah untuk belajar hidup sendiri. Begitu juga kakak laki-lakinya. Sabrina belum pernah sekalipun bertemu dengan kakak laki-lakinya itu.
Sabrina sudah menghabiskan satu semester sekolah bahasanya. Kini saatnya ia mengambil ijazahnya yang akan di gunakan untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Di Universitas, tempat dimana ia mengunjungi sekolah bahasanya, teman-teman satu kelasnya sudah berkumpul di depan kantor sekertariat. Sabrina menyapa hangat mereka. Riso, seorang laki-laki berumur 24 tahun dari Prancis membelai lembut rambut Sabrina.
“Hei, apa kabar mungil?” sebutan itulah yang selalu di luncurkan Riso padanya. Memang, ukuran Sabrina terlalu mungil untuk kalangan orang Eropa.
“Baik. Bagaimana Zeugnisnya? Semuanya lulus?” tanya Sabrina. Seorang laki-laki seumuran dengan Sabrina yang berasal dari Algeria, menjawab “Karen belum datang!”
Karen adalah nama gurunya. Mereka mempunyai dua guru. Karen dan Delia. Hari ini, tugas membagikan ijazah, jatuh pada Karen. Dalam hitungan detik, Sabrina sudah bercanda hangat bersama teman-temannya. Suara gelak tawa membahana di sepanjang koridor sekertariat membuat beberapa orang yang lewat, melirik ingin tau. Diantara delapan orang yang sedang bercanda tawa disana itu, hanya ada tiga perempuan. Tentunya Sabrina, dan yang lainnya gadis 20 tahun dari Polan dan seorang perempuan dari Cina yang sudah berkeluarga dan mempunya dua anak. Meski sudah mempunya dua anak, perempuan ini masih terlihat seperti berumur 19 tahun. Sabrina yang sudah berumur 18 tahun saja, masih sering dikira anak berumur 15 tahun. Apa mungkin semua wajah Asia selalu terlihat lebih muda ya? Entahlah! Ketujuh orang yang sedang bersamanya inilah, teman-teman dekat Sabrina selama di Jerman. Teman-teman sekelas lainnya, lebih suka duduk bergerombol dengan sesama orang dari negara mereka masing-masing. Terkadang membuat jenuh Sabrina karena mereka kebanyakan berbicara dalam bahasa mereka sendiri ketimbang dalam bahasa Jerman maupun Inggris.
“Hey, itu Karen!!!” seru sebuah suara. Sontak mereka semua langusng berlarian mendekati Karen. Sabrina sama tak sabarnya dengan yang lain untuk segera mengetahui nilainya. Ia meneliti kertas-kertas ujiannya kemarin. Ada banyak coretan dengan tinta merah di atasnya. Ia mencelos pelan. Dalam tugas 9, ia hanya mendapatkan nilai 4,5 dari nilai sesungguhnya yang 12. payah banget! Tapi tugas 10, ia memenuhi semua nilai. Mata Sabrina terus meneliti di bagian mana ia banyak kesalahan. Ia mencoba menganalisis mengapa bisa salah.
“Sabrina, mana punya kamu? Dapat nilai berapa?” tanya Mehdi, cowok yang waktu itu Sabrina beri contekan banyak. Dalam hitungan menit, semua teman-teman Sabrina berdiri mengerubungi Sabrina. Apalagi kalau bukan untuk saling mencocokan nilai satu sama lain. Sabrina tersenyum cerah. Ternyata nilainya bukanlah yang terjelek. Ia beruntung sekali. Karena nilainya berada di atas teman-temannya. Ia merasa bangga. Ia bisa mengalahkan sebagian orang Eropa di kelasnya. Sampai akhirnya, senyum cerahnya lenyap ketika melihat kertas ujian milik Ning Huang, cowok China berkacamata yang super duper baik.
WAS??? 117 punkte??” seru Sabrina membahana membuat teman-teman sekelasnya pada datang mendekat. Ning hanya terkekeh sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Tidak adil! Kenapa kamu bisa dapat nilai bagus? Kok kamu tidak memberiku sontekan?? aku hanya mendapatkan 112 Punkte,” seru Sabrina merebut paksa kertas Ning dan membanding-bandingkannya dengan miliknya. Ia melirik bolak balik kertas Ning dan kertasnya berharap ada keajaiban nilai itu akan bertukar. Tapi tetep aja, nilai itu tak bertukar. Sabrina kesal.
“Ya sudah. Ini buat kamu saja, ini punyaku!” kata Sabrina menyerahkan kertasnya yang bernilai lebih sedikit kepada Ning dan mendekap erat kertas Ning yang nilainya ternyata menjadi nilai tertinggi di kelas.
“Hehehe...oke, itu hadiah buat kamu deh,” katanya dengan cengiran kuda.
“Sudahlah Sabrina, toh kamu menjadi peringkat dua. Cukuplah! Kalian ini orang-orang Asia dengan otak cemerlang. Lihat saja, posisi satu dua dan tiga, di duduki oleh orang-orang Asia semua,” hibsur Riso merangkul Sabrina. Di liriknya kertas Riso. Okelah, Riso hanya mendapatkan 93. Sabrina sudah sepatutnya bersyukur.
“Yuk, kita mendaftar untuk Winter Semester. Biar tidak kehabisan tempat dan kita bisa tetap sekelas,” ajak Marta, si cewek kalem. Merekapun setuju dan berbondong-bondong ngantri di depan kantor pendaftaran. Kehadiran mereka bukan hanya menuh-menuhin koridor depan kantor pendaftaran aja tapi juga menyedot perhatian banyak orang karena saking berisiknya mereka. Becandaan, jitak-jitakan, ampe teriak-teriak. Diantara mereka, Marta selalu mengingatkan untuk tetap menjaga sikap karena nanti mereka bisa di usir keluar dari gedung lantaran membuat keributan. Begitu diingatkan, mereka semua terdiam menjaga sikap namun detik berikutnya sudah kembali liar bercanda tawa. Marta akan langsung turun tangan memarahi, merekapun diam lagi. Masih dalam hitungan detik, kembali lagi mereka liar. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya pendaftaran kedelapan orang itu selesai.
Diantara banyak orang yang berdesak-desakan di dalam koridor, dan banyak orang pada menciptakan lelucon, Sabrina menarik Riso yang tengah asik pukul-pukulan pakai buku di gulung bersama Borisch.
“Riso, nanti ke kota yuk! Aku mau beli payung nih, yang lama sudah rusak,”
Riso menanggapinya dengan cengengesan, sambil mengelak dari serangan Borisch.
“Wah, bakal gila nih sekelas sama mereka,” komentar sebuah suara dari mulut perempuan yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku delapan orang gila itu.

0 comments:

Followers

About This Blog

  © Free Blogger Templates Blogger Theme II by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP