BEAUTIFUL PART 5
Napas Seby serasa terhenti. Dadanya nyeri nyut-nyutan, melebihi nyut-nyutan orang sakit gigi.Mungkin saat ini ia lebih memlih kejedot tembok, kejedot tiang bendera, atau kejedot Pak Muro yang genit itu. daripada harus kejedot pemandangan menyakitan didepannya ini.Mata Seby serasa panas, kakinya membatu. Ingin rasanya ia memalingkan wajah dan berlari kencang dari sana. tapi tidak bisa! seperti tersedot lubang hitam di angkasa, yang terus menerus menariknya walaupun itu sangat menyakitkan.
Rama memang tidak mengenal dirinya, merekapun memang tidak pernah mengobrol satu sama lain, jangankan mengobrol, meliriknya saja tidak. tapi perasaan yang dimiliki Seby, melebihi dari sekedar ngobrol bareng, ketawa bareng atau main bareng. Dalamnya perasaan itu, membuatnya sekarang ini terasa tertusuk sangat dalam saat melihat Rama tengah duduk berduaan dengan Sheila. Tawa Rama yang selama ini di nantinya, senggolan hangat Rama yang dari dulu diinginkannya. sekarang tengah di terima oleh Sheilla.
jantung Seby serasa jatuh kebawah, terkubur dalam di dalam tanah bersama Mumun. darahnya beku, sebeku mumi di Mesir sono.
Entah karena apa, Seby merasa ini bukanlah tempatnya. dengan sisa-sisa tenaga, ia melangkahkan kakiknya menuju kelas. Duduk sendirian adalah hal terbaik untuk saat ini. Ia ingin mengatur emosinya, tapi belum sempat ia menarik napas panjang, si cowok gondrong teman sekelompoknya menghampirinya dengan senyum angkuh seperti biasanya.
"Heh, Jangan pernah bilang sama Bu Amri. awas lo!"
Seby hanya diam. Seorang cowok tiba-tiba nongol dari balik pintu dan memanggil si gondrong.Sebelum pergi menghampiri temannya, si gondrong menoyor kepala Seby terlebih dahulu.
air mata Seby hampir saja menetes, kalau saja tangannya tidak segera menghapusnya.
"Jangan nangis, Seb! sabar..." Sebypun memulai ritualnya mengatur emosi.
***
Rio bingung dengan wajah Seby siang ini.Emang sih biasanya cewek ini jarang senyum, tapi nggak separah ini. Tatapannya kosong, jalna udah kayak mayat hidup, bibirnya kering dan rambutnya berantakan.
"Kenapa lo, Seb? abis kesetrum? tadi emang pelajaran apa aja? pas pelajaran elektro, elo ngelamun ya makanya kesetrum. makanya kalau pas pelajaran elektro, pake sandal jepit" meski Rio sudah bicara berentet, tetap saja Seby tidak merespon.
SMA Dinamika masih ramai, ada aja siswa yang belum pulang dengan alasan mau kerja kelompok dulu. padahal cuma nongkrong-nongkrong di warung depan SMA. Rio celingukan, entah mencari siapa atau mencari apa. setelah celingukan, ia menoleh kearah Seby yang berdiri mematung dihadapannya.
"Temen-temen lo happy-happy aja. kok elo lecek ndiri? napa lo? belum makan ya? gih yuk makan, gue juga belum" katanya dari balik helmnya. ia sengaja tak membuka helmnya, alasannya capek. heh? butuh berapa tenaga dan kalori sih hanya untuk membuka helm? makanya, Rio hanya membuka kacanya saja.
Seby mengangguk lemah. Seperti mumi, ia naik keatas motor. hampir aja dia jatoh keserimpet pedal kaki, tapi ia segera pegangan motor tuk menopang dirinya.
"Astaga! elo napa sih? nggak makan berapa hari lo?" tanya Rio.
Seby menepuk bahu Rio. "Yuk, ah berangkat! jangan cerewet"
Rio mendelik."Buset. meski lemes, masih aja galak. emang gue ojek!"
Sepanjang perjalanan, Rio tak henti-hentinya bertanya ada apa gerangan dengan Seby. tapi karena Seby diem mulu, akhirnya ia ikutan diam. Rio nggak tau Seby mau makna dimana, akhirnya ia mengajaknya makan di warung ketoprak tak jauh dari monas.
"Gih makan yang banyak biar nggak kayak ondel-ondel gitu jalannya" Rio menyodorkan ketoprak satu porsi.
Seby makan dalam diam, Riopun juga. bagi Rio, makan adalah momment terbaik. harus di nikmati dan di khayati.
Lagi enak-enaknya makan, tau-tau Seby nyeletuk. "Naik monas, yuk! gue belum pernah nih"
Rio berhenti mengunyah. Ia melirik jam tangan hitam di lengan kirinya, "Boleh-boleh" katanya menyetujui. ia kembali makan dalam diam, Seby memperhatikan Rio sesaat lalu kembali makan. kebetulan banget emang dia belum makan.
Kondisi Seby setelah makan, menjadi lebih baik. Jalan udah nggak kayak mumi, tatapannyapun ngga kosong lagi, tapi masih aja tetep diem. Nggak menggubris Rio yang ngoceh terus di sebelahnya. apalagi setelah mereka naik keatas monas. Wah...Seby cuma bisa senyum lebar dengan mata berbinar.
"Kalau malam lebih oke, Seb!" terang Rio.
"Emang elo udah pernah?"
"Udah dong. ampe kejebak di lift macet segala. kalau malam, lampunya lebih keren. wah, lo bakal heboh deh! itu bandara, kadang kalau malam masih ada pesawat yang nangkring, terus kota Jakarta itu kayak taburan permata berkilau di bawah sana"
Seby makin berbinar. "Bener? wah gue jadi pengen liat kalau malam deh"
Rio manggut-manggut.
"Jarang loh anak jaman sekarang mau berkunjung ke monas. mereka jaim. lebih suka ke PIM sono atau BP, atau ke SMS, paling mentok ya ke GI atau PS dulu yang deket sini" Rio melempar pandangannya luas ke depan, memandang kota Jakarta di siang hari.
Seby tertawa pelan mendengar komentar Rio.
"Gue nggak bakal menginjakan kaki kesono. tau kenapa? karena gue bukan anak gaul, Bro!" Seby bergaya "sok anak gaul" saat menyebutkan kalimat terakhir.
"Ohya? emmm" Rio meneliti Seby dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Iya sih kelihatan kalau elo tuh kuper"
Seby mendengus sebal. kuper? enak aja!
"Tapi gue kadang bete sama anak-anak sekarang yang sok gaul itu" tambah Rio kembali menatap Jakarta.
Seby mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? gue malah pengen ngerasain gimana jadi mereka. elo tau nggak, ada tuh temen sekelas gue namanya Sheila. udah cantik, populer, gaul pula. semua cowok pada nempel sama dia"
Rio tertawa garing.
"Dia pasti rambutnya panjang bergelombang, rok pendek, kaos ketat kan? kadnag suka ngibasin rambutnya gitu"
Seby mengangguk semangat. betul banget!
"Heh, udah basi gitu mah!" Rio mencibir.
"Kalau elo sendiri gimana pas SMA? dari tampang lo sih, kayaknya elo udah nggak SMA lagi. udah tua ya lo"
Rio menoyor Seby.
"Sial lo! gue masih muda tau, cuma udah nggak SMA lagi. dulu sih gue termasuk jajaran cowok most wanted. semua cewek pada ngejar-ngejar gue tapi guenya aja yang nggak mau"
Seby memonyongkan bibirnya. "BOHONG BANGET! mana ada yang mau sama cowok cerewet kayak elo"
"Ye...nggak percaya! elo nggak liat apa kalau tampang gue ini tampan merajalela?" Rio menyisir rambutnya pelan dengan tatapan mata menggoda. Seby langsung terbahak ampe muntah-muntah.
"Huahahahaha....gue nggak doyan ama aki-aki! dasar tuwir lo"
Rio langsung mengkeret. "Gue belum tua, tau! dasar emak!"
Keduanyapun masih terus mengobrol asik sambil sesekali menimpali dengan pukulan dan toyoran. Pelan namun pasti, siang itu dihabiskan Seby bersama Rio. ampe pulang ke rumah, ibunya ngomel-ngomel gara-gara Seby telat pulang. bukan kenapa-napa, tapi karena di rumah nggak ada yang nyapu dan nyiramin tanaman depan rumah.
Dan sejak saat itu, Rio menjadi tukang ojek pribadi Seby. Si tukang ojek, eh maksudnya Rio, udah standby tiap pagi di bangunan tua itu.
Saat itu, di suatu siang pas Rio nganterin Seby pulang, keduanya berhenti di lampu merah. bukan untuk ngamen atau minta-minta apalagi jadi tukang jualan permen. tapi karena mereka adalah rakyat Indonesia yang taat dengan peraturan lalu lintas. menunggu lampu menyala hijau. meski kudu kepanggang di panasnya Jakarta beberapa menit.
"Seb, gue masih nggak ngerti nih kenapa abang elo manggilnya kok Jelita?"
Seby yang tadi lagi nyanyi-nyanyi pelan langsung berhenti nyanyi.
"Heh, kenapa? jangan bengong. ada orang nanya juga" Rio menoleh kebelakang, menyonggol Seby menggunakan bahunya.
Seby mengulum bibirnya. "Ehmm...."
Bersambung....
0 comments:
Post a Comment